JAKARTA, KILOMETER40.COM- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan anjuran agar anak-anak meneruskan sistem belajar di rumah hingga akhir tahun 2020. Anjuran ini diharapkan menjadi acuan berbagai pihak untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan berdasarkan kepentingan terbaik kesehatan dan kesejahteraan anak.
Usulan KPAI itu sekaligus mewakili keresahan orang tua di rumah. Hal tersebut terlihat dari hasil angket daring yang digelar KPAI dan diikuti oleh 9.643 siswa, 18.112 guru, dan 196.559 orang tua. Orang tua yang menjadi klaster terbanyak dalam pengisian survei ini, mayoritas menyatakan tak setuju jika sekolah kembali dibuka di saat pandemi belum mereda.
“Angket ini diikuti oleh orang tua dari Aceh hingga Papua Barat. Sebagian besar, sekitar 66% atau 129.000 responden menolak sekolah dibuka kembali. Ini menunjukkan bahwa mereka khawatir akan keselamatan dan kesehatan anak-anaknya ketika sekolah dibuka di masa pandemi dengan kasus Covid-19 yang masih tinggi. Terlebih belum ada persiapan memadai untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat di sekolah,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan, Retno Listyarti kepada SP melalui sambungan telepon, Minggu (31/5/2020).
Retno mengatakan, keputusan membuka sekolah harus dipikirkan dengan matang oleh pemerintah pusat dan daerah. Sebab, ini menyangkut keselamatan guru dan terutama keselamatan jutaan anak-anak Indonesia yang menjadi peserta didik dari PAUD sampai SMA/sederajat.
Dalam memasuki era kenormalan baru, hal paling dasar yang harus dipersiapkan oleh pemerintah adalah pemenuhan infrastruktur sesuai dengan protokol pencegahan penularan Covid-19. Jika hal ini tidak dipersiapkan dengan baik, dikhawatirkan justru bisa menimbulkan klaster baru penyebaran Covid-19.
“Situasi saat ini memang sangat berat dan tidak mudah. Tidak mungkin membuka sekolah dalam waktu dekat. Kami khawatir sistem kesehatan Indonesia belum mampu kalau menangani banyak anak kami yang sakit jatuh sakit nanti,” ungkap Retno.
Ia mencontohkan, dalam menerapkan kebiasaan rajin mencuci tangan, tentunya setiap kelas setidaknya harus menyediakan minimal satu wastafel atau tempat cuci tangan dan juga sabun yang cukup. Katanya, jangankan di sekolah-sekolah di daerah, di pusat kota seperti Jakarta saja, tempat cuci tangan untuk anak-anak belum memadai.
Dia juga menyinggung kapasitas daya tampung kelas di sekolah Indonesia. Berdasarkan ketentuan, 1 kelas di bangku SMA maksimal diisi oleh 36 murid, jumlah di SMP 32 orang per kelas, dan siswa SD 28 orang per kelas. Jumlah siswa dalam kelas itu dikhawatirkannya bisa menimbulkan klaster baru penyebaran Covid-19.
“Jangankan kita, sekarang Finlandia dengan sistem, infrastruktur, dan protokol bagus yang 1 kelas diisi 20 orang saja ada yang tertular. Bahkan malah timbul klaster baru. Kita tidak ingin mengorbankan anak-anak. Yang penting sekarang itu kesehatan dan keselamatan anak-anak. Kompetensi yang kita kedepankan adalah bertahan hidup, bukan kompetensi akademik. Jadi jangan buru-buru buka sekolah,” jelasnya.(*)
Leave a Reply